Jumat, 19 September 2014

“mon etobi’ sake’ ajje’ nobi’ oreng laen”




                Sebuah adagium yang membuat saya selalu belajar, introspeksi diri dan menahan diri. Adagium yang selalu orangtua saya tanamkan semenjak saya masih kecil. Saya terlahir dari kedua orangtua yang berdarah Madura asli  namun semenjak kecil saya harus dan mau tidak mau belajar tentang Budaya Jawa. Tempat dimana kedua orangtua saya merantau semenjak saya masih sangat kecil.
            Merantau, jauh dari kampung halaman namun disinilah di pulau Jawa, saya menuntut ilmu, menghirup nafas, bersosialisasi bahkan Ayah sayapun menuntut saya dapat berbahasa Jawa Halus (kromo Inggil) dalam percakapan sehari-hari. Lucu?pasti! saya  berdarah madura Asli tapi bila nilai bahasa daerah saya di sekolah hanya bisa mencapai nilai 6, maka terbayang murka ayah semenjak saya mendapatkan hasil ulangan tersebut. Tak sedikitpun percakapan bahasa Madura diterapkan dalam keluarga saya saat itu.  Semua anggota keluarga bahkan hingga asisten rumah tangga menggunakan bahasa Jawa yang begitu kental dalam bahasa sehari-hari. Begitu tersiksanya saya saat itu. Dipaksa menggunakan bahasa daerah yang bukan bahasa saya. Namun pembiasaan orangtua dan kondisi lingkungan yang mempu membentuk saya untuk perlahan mencintai Budaya Jawa meski tetap tak terpisahkan dengan adat istiadat Madura. 


                Mengikuti kursus menari dan menabuh gamelan merupakan salah satu cara bapak menanamkan rasa cinta budaya rantau. Pelan tapi pasti, saya memang sangat mencintai budaya Jawa. Bahkan rasanya saya bukan terlahir dari keluarga yang bersuku Madura. Hingga akhir hayat bapak di tahun 1994 pun beliau berpesan agar tetap tinggal di tanah jawa agar memperoleh kemudahan fasilitas pendidikan yang memang banyak tersedia di kota Malang tempat saya bermukim sampai tahun 2007 hingga akhirnya di tahun tersebut saya memulai hidup baru bersama keluarga kecil saya di kota Bandung. 

                 Di tahun 2007 Inilah awalnya saya mengingat-ingat kembali pesan yang sering almarhum bapak sampaikan ketika saya masih duduk di bangku sekolah. Salah satu adagium orang Madura yang patut untuk didengarkan dan juga dipahami serta dipraktekkan oleh masyarakat adalah “mon etobi’ sake’ ajje’ nobi’ oreng laen” artinya kalau anda disakiti oleh orang merasa sakit, jadi janganlah menyakiti orang lain. Ini merupakan sebuah nasehat, bahwa kita sebenarnya ditentukan oleh diri kita sendiri. Kita ditentukan oleh sikap, tindakan serta ucapan kita sendiri. Ketidakmampuan kita menjaga semua ucapan serta tindakan yang ada pada diri kita, akan menyebabkan diri kita selalu penuh dengan masalah yang akan selalu mengejar-ngejar kita. 

Selalu berhati –hati. Hingga akhirnya sayapun tak bisa menghindar tersandung masalah dengan seseorang yang nyata-nyata menyimpan rasa ketidaksukaan pada keluarga kami yang notabene berdarah madura. Banyak hal yang selalu menjadi bahan sindiran, ejekan bahkan makian  yang mengarah pada membully karakter kita sebagai orang bersuku madura. Yang dikata kasar, penipu,bahkan disebutkan bila kami tak pantas tinggal di area mereka. Kondisi ekonomi keluarga kami yang saat itu terlihat jauh lebih baik daripada penghuni beberapa petak kontrakan yang lainpun menjadi bahan iri hati  hingga akhirnya fitnah tentang keberadaan saya sebagai salah seorang yang bersuku Madura. Teriris rasanya hati ini saat itu namun saya hanya bisa diam dan diam. Untuk apa saya membalas jika akhirnya sayapun akan kembali sakit. Sakit yang tak berujung. 

Kini 7 tahun setelah kejadian tersebut, banyak hikmah yang saya petik, bahwa perlunya kita menanam kebaikan meski dengan hanya menyingkirkan sebuah paku di tengah jalan ,  menjadi pendengar yang baik bahkan seperti yang saya alami yaitu membiarkan saja orang yang menyakiti saya. Tak ada yang sia-sia dengan menanam kebaikan karena kita akan memanen hasil yang berlimpah. Berusaha untuk tidak mencubit (baca : menyakiti) orang lain karena bila itu yang kita lakukan maka kelak mungkin kita akan memanen hasilnya. Kepada siapakah kita menanam kebaikan? kepada siapapun! karena tak ada yang sia-sia bila kita menanam kebaikan dan yang pasti  Jangan menyakiti bila anda tak mau disakiti.







Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati-Bahasa Daerah harus diminati
banner

1 komentar:

  1. good luck ya mbak... memang benar, siapa menabur itu yang akan menuai.. hehe

    BalasHapus

Mood booster masa PSBB di Coger madani , ngopi asyik di Bandung timur

Frezze ...     Iya. Menyelesaikan naskah berhari hari sudah jadi makanan saya selama  8 tahun ini. Dalam 2 bulan bisa 2-3 naskah buku yang...