Sebuah
adagium yang membuat saya selalu belajar, introspeksi diri dan menahan diri.
Adagium yang selalu orangtua saya tanamkan semenjak saya masih kecil. Saya
terlahir dari kedua orangtua yang berdarah Madura asli namun semenjak kecil saya harus dan mau tidak
mau belajar tentang Budaya Jawa. Tempat dimana kedua orangtua saya merantau
semenjak saya masih sangat kecil.
Merantau,
jauh dari kampung halaman namun disinilah di pulau Jawa, saya menuntut ilmu,
menghirup nafas, bersosialisasi bahkan Ayah sayapun menuntut saya dapat
berbahasa Jawa Halus (kromo Inggil) dalam percakapan sehari-hari. Lucu?pasti!
saya berdarah madura Asli tapi bila
nilai bahasa daerah saya di sekolah hanya bisa mencapai nilai 6, maka terbayang
murka ayah semenjak saya mendapatkan hasil ulangan tersebut. Tak sedikitpun
percakapan bahasa Madura diterapkan dalam keluarga saya saat itu. Semua anggota keluarga bahkan hingga asisten
rumah tangga menggunakan bahasa Jawa yang begitu kental dalam bahasa
sehari-hari. Begitu tersiksanya saya saat itu. Dipaksa menggunakan bahasa
daerah yang bukan bahasa saya. Namun pembiasaan orangtua dan kondisi lingkungan
yang mempu membentuk saya untuk perlahan mencintai Budaya Jawa meski tetap tak
terpisahkan dengan adat istiadat Madura.
Mengikuti
kursus menari dan menabuh gamelan merupakan salah satu cara bapak menanamkan
rasa cinta budaya rantau. Pelan tapi pasti, saya memang sangat mencintai budaya
Jawa. Bahkan rasanya saya bukan terlahir dari keluarga yang bersuku Madura.
Hingga akhir hayat bapak di tahun 1994 pun beliau berpesan agar tetap tinggal
di tanah jawa agar memperoleh kemudahan fasilitas pendidikan yang memang banyak
tersedia di kota Malang tempat saya bermukim sampai tahun 2007 hingga akhirnya
di tahun tersebut saya memulai hidup baru bersama keluarga kecil saya di kota
Bandung.
Di tahun 2007 Inilah awalnya saya
mengingat-ingat kembali pesan yang sering almarhum bapak sampaikan ketika saya
masih duduk di bangku sekolah. Salah satu adagium orang Madura yang patut untuk
didengarkan dan juga dipahami serta dipraktekkan oleh masyarakat adalah “mon
etobi’ sake’ ajje’ nobi’ oreng laen” artinya kalau anda disakiti oleh orang
merasa sakit, jadi janganlah menyakiti orang lain. Ini merupakan sebuah
nasehat, bahwa kita sebenarnya ditentukan oleh diri kita sendiri. Kita
ditentukan oleh sikap, tindakan serta ucapan kita sendiri. Ketidakmampuan kita
menjaga semua ucapan serta tindakan yang ada pada diri kita, akan menyebabkan
diri kita selalu penuh dengan masalah yang akan selalu mengejar-ngejar kita.
Selalu berhati –hati. Hingga
akhirnya sayapun tak bisa menghindar tersandung masalah dengan seseorang yang
nyata-nyata menyimpan rasa ketidaksukaan pada keluarga kami yang notabene
berdarah madura. Banyak hal yang selalu menjadi bahan sindiran, ejekan bahkan
makian yang mengarah pada membully
karakter kita sebagai orang bersuku madura. Yang dikata kasar, penipu,bahkan disebutkan bila kami tak
pantas tinggal di area mereka. Kondisi ekonomi keluarga
kami yang saat itu terlihat jauh lebih baik daripada penghuni beberapa petak
kontrakan yang lainpun menjadi bahan iri hati
hingga akhirnya fitnah tentang keberadaan saya sebagai salah seorang
yang bersuku Madura. Teriris rasanya hati ini saat itu namun saya hanya bisa
diam dan diam. Untuk apa saya membalas jika akhirnya sayapun akan kembali
sakit. Sakit yang tak berujung.
Kini 7 tahun setelah kejadian
tersebut, banyak hikmah yang saya petik, bahwa perlunya kita menanam kebaikan
meski dengan hanya menyingkirkan sebuah paku di tengah jalan , menjadi pendengar yang baik bahkan seperti
yang saya alami yaitu membiarkan saja orang yang menyakiti saya. Tak ada yang
sia-sia dengan menanam kebaikan karena kita akan memanen hasil yang berlimpah. Berusaha
untuk tidak mencubit (baca : menyakiti) orang lain karena bila itu yang kita
lakukan maka kelak mungkin kita akan memanen hasilnya. Kepada siapakah kita menanam kebaikan? kepada siapapun! karena tak ada yang sia-sia bila kita menanam kebaikan dan yang pasti Jangan menyakiti bila
anda tak mau disakiti.
Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati-Bahasa Daerah harus diminati
good luck ya mbak... memang benar, siapa menabur itu yang akan menuai.. hehe
BalasHapus